Bisnis dari dulu sampai sekarang sejatinya tidak berubah baik dari sisi psikologi konsumen maupun hubungan antara penyedia dan pembeli. Kenapa begitu, karena bisnis sejatinya bertujuan membangun hubungan baik antara penyedia dan pembeli melalui layanan yang prima dan kualitas yang maksimal. Ada rasionalisasi dalam hubungan baik tersebut, yaitu pertukaran yang seimbang dan berimbang. Lalu, bagaimana jika satu penyedia bisa menekan harga pertukaran tersebut, melalui potongan harga seperti diskon atau layanan murah? Apakah hubungan baik tersebut tetap akan terjalin, dan semakin kuat? Yup, ini adalah penilaian cepat yang sesuai dari logika hubungan penjual dan pembeli.

Tapi dari sisi lain dalam ekosistem yang lebih luas apakah ini akan menjadi pemicu dalam memberikan layanan yang lebih baik?. Karena tentu saja, suatu hari layanan tersebut akan bertemu dengan layanan dan penyedia yang sama tapi bisa jadi dengan harga yang berbeda. Argumentasinyanya adalah, konsumen akan dihadapkan pada pilihan melihat kualtas dari masing-masing layanan semakin kualitas maksimal dan harga lebih rendah maka secara rasional konsumen akan bergerser pada kenyataan bahwa harga bisa jadi faktor pemicu yang luar biasa berdampak pada proses pengambilan keputusan.

Sampai pada titik ini produk dan layanan dari masing-masing penyedia akan diuji konsistensinya. Sebuah fenomena yang memang sudah lama terjadi dan penulis ingin sampaikan dalam tulisan ini. Pendekatan harga secara psikologi sangat baik untuk mendorong berpindahnya pengguna suatu jasa dari satu penyedia ke penyedia yang lain.

Akan tetapi tapi pendekatan harga jika tidak mempertimbangkan kondisi pasar akan mempertegas bahwa harga digunakan sebagai alat yang mendorong situasi dan kompetisi tidak sehat antara pemberi jasa. maka istilah perang harga menjadi biasa bagi para pemain pasar yang ingin merebut pilihan konsumen melaui diskon dan potongan biaya.

Tapi bagaimana semestinya konsumen menempatkan diri dan tidak menjadi bagian dari pergesekan dari penyedia yang terjadi dilapangan? Posisi Konsumen sebagai raja adalah jawabannya. Tidak ada penyedia produk atau jasa yang bisa mengontrol konsumen akan membeli atau tidak produk mereka. Yang ada adalah penyedia jasa memberikan kesan baik sehingga konsumen senang dan memutuskan menggunakan produk atau jasa mereka. Atau dalam kondisi produk tidak ada kompetitor maka konsumen dibuat tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi serta dominasi penyedia produk dan jasa di pasar.

Praktik Re-Marketing

Demikian refeleksi dan sedikit pengantar dari penulis, sekarang mengkonkritkannya dalam praktik internet marketing. Secara prinsip tidak ada yang bisa memaksa konsumen untuk kembali. Tapi ternyata prinsip ini tidak berlaku pada teknik pemasaran berbasis internet. Sebagaimana kita sama-sama ketahui, setiap perangkat keras yang kita gunakan memiliki kode unik yang membedakan satu perangkat dengan perangkat yang lain.

Nah dari prilaku kunjungan kita pada webiste atau jaringan internet, perangkat ini meninggalkan jejak. Beberapa perushaaan besar penyedia jasa jaringan internet memiliki kemampuan untuk merekam jejak. Penyedia browser juga memiliki kemampuan untuk melaporkan pada pusat data mereka. Dan mengumpulkan serpihan-serpihan ini sehingga lahirlah satu istilah dan teknik pemasaran internet bernama re-marketing.

Berdasarakan pengalaman konsumen akan mengalami kondisi dimana dia merasa dikuti oleh satu info iklan. Baik bergambar atau kata kunci yang muncul pada jaringan gratis yang mereka akses seperti media sosial, media berita, atau mesin pencari itu sendiri. ini akan terus berulang dan akan terus terjadi sampai pada satu kondisi sang konsumen melakukan konversi terhadap iklan tersebut. Dengan melakukan transaksi online melalui iklan tersebut. Untuk teknis dan praktiknya silahkan kunjungi terus website ini, terutama pada bagian Tips dan Trik Internet Marketing.

Baca Juga: Perbedaan Kanal Penjualan

Sumber Video : Visimediatara.com

Leave a Comment