Merencanakan Pemasaran
Apakah mudah Merencanakan Pemasaran?, Jawabannya tentu relatif. Kenapa?, Karena kesadaran kita bukan terbuat dan terlatih untuk memasarkan. Baik dari sistim pendidikan maupun dari sistem budaya. Warga net +62 terlatih pada melempar informasi ke ruang publik dengan standar keunikan masing masing. Sementara, keberhasilan dari pemasaran yang menggunakan metode pengembalian investasi bukanlah sebuah mekanisme yang terpatok dari awal. Sehingga jika kita perhatikan, lebih banyak sampah digital dibanding dengan produk berkualitas. Media digital sekarang lebih banyak menjadi tempat sampah, kaerna aspek aspek keterukuran pasar.
Atau kebutuhan pasar tidak lagi menjadi agenda utama. Hal ini tidak datang begitu saja. Tapi lebih pada ketergelinciran yang secara sengaja masuk dalam kehidupan kita. Coba perhatikan, dalam kenyataan hidup kita, bagaimana prilaku budaya buang sampah sembarangan masih menjadi masalah terbesar. Dan kenyataan ini menjadi gelombang kesadaran yang tergugu dan tertiru. Menyelusup dalam sistem pendidikan, tata pemerintahan serta berbagai aspek serta layanan lainya. Bukan itu saja, kesadaran sampah ini bahkan masuk dalam sejarah kita.
Apsek Penting
Berangkat dari latar belakang tersebut, kita sadar betul bahwa ada aspek penting yang sering terlupakan. Dimana dalam manajemen kita sama sama tahu. Sebuah pemasaran mestinya datang dari perencanaan serta pematangan yang nyata. Lahir dari proses yang melewati penyaringan dan tidak berpikir hanya pada naiknya angka penjualan. Lebih dari itu mesti berorientasi pada sebuah perubahan positif pada prilaku masyarakat. Lalu sebaiknya seperti apa? Apakah semua proses pemasaran kita butuh rencanakan. Atau kita cukup buat dan kerjakan tanpa ada arah yang jelas. Lalu kita buang ke tong sampah digital. Ber ton ton sudah sampah informasi yang kita konsumsi. Dan sampah informasi ini tidak sedikitpun memberikan perubahan pada prilaku baik kita. Yang menuju pada peradaban yang berdaulat, bermartabat. Tapi sebaliknya, lebih banyak menimbulkan respon pada kerumitan relasi yang menghasilkan tuntuttan hukum.
Lalu siapa yang berhak pada konten berkualitas?, tentu semua orang berhak untuk itu. Namun apakah semua orang akan mendapatkannya atau memilihnya sebagai pilihan bacaan?. Tentu tidak, ketidak tahuan tentang kebenaran informasi didukung oleh budaya yang tidak verifikatif. Membuat kita sebagai generasi mesti menerima kenyataan bahwa selain kita menghadapi tantangan kesadaran sebagai penerima sampah dan pembuang sampah informasi. Tapi juga mengambil peran dalam kenyataan begitu sulitnya memiliki informasi yang berguna bagi publik, dan mengedukasi serta menjadi kepantasan informasi yang tidak sekedar merubah prilaku tapi juga merubah cara pandang.
[…] Strategi Marketing Inflasi […]