Harapan Versus Kenyataan

Harapan Versus Kenyataan

Harapan Versus Kenyataan adalah sebuah refleksi. Apa jadinya, jika anda sebagai pemilik usaha berhadapan dengan keinginan pertumbuhan bisnis. Sementara dalam proses bisnis yang terjadi. Malah karyawan anda hanya berfokus pada bonus. Ini yang kita sebut dengan bias pertumbuhan menggunakan pendekatan bonus. Startegi pertumbuhan seperti ini tentu akan menjadi sangat menarik bagi pelaku usaha. Yang memiliki sumberdaya yang cukup dalam mencapai tujuan mereka. Atau penulis bilang sumbedaya berlebih. Dalam skema pertumbuhan dan pemasaran yang sering terhubung dengan kebutuhan tata kelola bisnis. Dan mungkin banyak diatur oleh bidang SDM.

Maka, direktur atau pemilik merasa solusi bisnis mereka udah tepat dan akurat. Dan dengan pendekatan seperti ini, persaan aman yang tadinya terganggu tentu akan berkurang, dan sebaliknya akan menumbuhkan harapan baru. Harapan akan pemasaran memberikan dampak pada transaksi dan konversi. Hal seperti sudah sering berulang-ulang kita lakukan. Baik sebagai kepala marketing atau sebagai pemilik. Yang terjun langsung memerankan ujung tombak perusahaan. So jika harapan tidak sejalan dengan perusahaan, apa yang mesti kita lakukan dan apakah mesti kecewa dengan hasil atau proses yang dilakukan?.

Bias tujuan yang membutakan

Kenapa kita bicara hal seperti Harapan Versus Kenyataan?. Karena hasilnya selalu kekecewaan. Dan kekecewaan itu tentu menyakitkan. Lebih tidak menarik lagi jika kekecewaan tersebut ditambah dengan biaya yang dikeluarkan. Bagi pelaku usaha yang memiliki motive belajar, maka tentu tidak adak hal tersebut akan bertumbuh. Tapi akan berbeda jika posisi keuangan dan pasarnya adalah membiayai sebuah aksi. Dengan modal negatif dengan tujuan ambisius. Selain lobang beban yang akan semakin dalam. Akan berdampak pada beban perusahaan yang semakin bertambah.

Tanpa ada rasa tanggungjawab yang bisa ditumbuhkan kepada karyawan. Karena mereka hanya menjalankan tugas mereka. Nah situasi seperti ini membuat ketegangan antara karyawan dan pemilik usaha. Jika usaha tersebut masih dalam kelolaan para pemilik tentu akan semakin membuat suasana lebih tegang. Entah karena pemilik merasa dirugikan oleh karyawan. Atau pemilik merasa bahwa karyawan mengerjai kita. Tapi jika ditelusuri kebelakang sangat mungkin proses pengambilan keputusan sudah sesuai dengan langkah atau kode etik perusahaan.  Sehingga tidak perlua ada yang disalahkan, dan tidak perlu ada yang menjadi kambing hitam. Risiko dari sebuah keputusan kolektif sebaikanya disadari sebagai sebuah prose pembelajaran.